Minggu, 25 Mei 2008

Ketua Dewan Kesenian Palu Mendatang

Dari penulis- Tulisan ini dibuat menjelang pemilihan Ketua Dewan Kesenian Palu pada akhir tahun 2004.-Mohammad Amin a.k.a Amin Abdullah,.

Ini kutipan dialog antara Tobibo (nakal) dan Navatu (keras kepala) , dua orang sahabat yang giat dalam kegiatan seni budaya mengenai bursa calon ketua Dewan Kesenian Palu (DKP) mendatang. Tobibo dikenal sebagai bocor halus, sementara Navatu terkenal keras kepala.
“Cobalah untuk menulis dan memberi buah buah pikiran tentang figur ketua Dewan Kesenian Palu mendatang”, ujar Navatu sambil mengelus kumisnya.
“Rapokuya (untuk apa)? Tokh kita punya banyak calon yang bisa mengurus hal itu dan sudah bisa ditebak akan dibawa kemana Dewan Kesenian Palu” jawab Tobibo sambil tiduran.
“Maksudnya?” sergah Navatu.
“ Siapa saja yang masuk bursa calon?” tanya Tobibo.
“Ada politisi yang anggota DPRD, pengusaha, istri pejabat….. .”
“Coba sebut satu-satu?”, Tobibo masih memeluk guling.
“Kalau politisi anggota DPR bagaimana? Positifnya, kan, lebih mudah aksesnya ke
kekuasaan. Proses pencairan dana jadi mudah sehingga seniman tidak sulit dapat
uang produksi”, Navatu menjelaskan dengan yakin.
“Cara berpikir seperti itu menunjukkan betapa rendahnya posisi tawar pembangunan
kesenian di daerah ini.” Tobibo memperbaiki bantalnya.
“Eeh, berimba vai itu lhe” (eeh bagaimana lagi itu), tanya Navatu.
“Tidak ada alasan untuk mempersulit birokrasi pencairan dana DKP kalau seandainya kita sampai pada pemahaman bahwa pembangunan seni budaya itu sama pentingnya dengan olahraga atau bidang-bidang fisik lainnya seperti bangun jalan atau jembatan. Kalau mau bangsa ini maju, pembangunan fisik itu juga harus dibarengi dengan
pembangunan sumber daya manusianya. Ingat, keterlambatan kita untuk keluar dari
krisis ekonomi berkepanjangan, karna bangsa ini mengalami krisis multi dimensi. Sudah
dana pembangunannya ngutang dari luar negeri, SDM nya pun lemah yang diperparah
dengan krisis identitas, krisis moral, mental, kepercayaan diri, krisis kebanggaan sebagai
bangsa, krisis….”
“Sebentar, hubungannya dengan kesenian itu apa.”potong Navatu.
“Kesenian itu jangan dipahami sebagai nobado-bado atau “Tele Nyanyi Asyik” acara TVRI kita semata. Lebih dari itu, kesenian sebagai laboratorium pembentukan manusia Indonesia yang berkepribadian dengan budayanya sendiri. Bila adik-adik kita menari pontanu atau main kakula, sesungguhnya dia sedang mengalami proses penyerapan nilai-nilai tradisi budayanya sendiri untuk nanti akan diaktualkan kembali ketika dia besar kelak. Dia akan bangga dengan identitasnya dan dapat menjadi manusia yang tangguh ditengah arus globalisasi yang tidak terhindarkan. Di lain pihak, kesenian juga membentuk sensivitas humanisme pelakunya. Bila anak-anak kita belajar melukis, tidak harus dia menjadi pelukis namun melatih daya kritis matanya terhadap dunia visual kesehariannya bila dia sudah dewasa. Minimal dia kritis terhadap gejala tayangan kekerasan dan mistis yang lagi trend di TV swasta. Selanjutnya, kesenian itu melatih orang untuk mempunyai daya kreasi, imajinatif… ,” Tobibo, sesuai dengan namanya mulai nabibo.
“Neparuru,…(tunggu dulu) pembangunan daerah ini menjadikan politik sebagai primadona. Eva le ria (seperti tidak ada) hubungannya dengan kesenian.?” desak Navatu keras kepala.
“Naria, Vatu!. (ada, Vatu). Kita akan menciptakan politikus sekelas Bung Karno, Syahrir atau Tan Malaka yang terkenal mencintai dan memiliki sensivitas yang tinggi terhadap rakyat dikemudian hari. Bung Karno juga adalah pencinta lukisan sementara Syahrir dan Tan Malaka tumbuh dalam dunia tonil. Mereka pencinta kesenian popular, klasik dan kontemporer.Bacaannya beragam buku-buku kebudayaan.” kicau Tobibo.
“Kalau proses pendidikan kesenian itu mandeg?”, potong Navatu.
“Kita akan menciptakan elite politik yang kehilangan humanisme dan kepribadian. Kebijakannya terasa kering, keras dan kasar yang akan diikuti persis oleh rakyat dibawahnya. Tidak punya wawasan kebudayaan dan cenderung korupsi. Menurut Garin Nugroho, kemerosotan bangsa ini salah satu sebabnya adalah karena elite politik tidak tumbuh dalam tradisi berkesenian dan menganggap kesenian hanya hidup untuk kesenian itu sendiri”, tegas Tobibo mulai bangun dari tidurnya.
“Sebentar,…kita ini kan bicara bursa calon ketua DKP. Koq jadi melebar?” Navatu mulai nampak kewalahan.
“Justru ini berkaitan langsung. Figur ketua DKP mendatang adalah figur yang mempunyai wawasan kebudayaan luas. Sehingga dia bisa meyakinkan Dewan Kota bahwa pembangunan seni budaya itu penting adanya sebagai bagian dari pembentukan jiwa bangsa” Tobibo menjelaskan.
“Apa di Dewan Kota tidak ada yang berpikir seperti itu? Kan, ada beberapa orang yang berlatar belakang seni.”, Navatu masih keras.
“Jangan berharap terlalu banyak, nanti kecewa. Mantan seniman belum tentu menjadi pejuang kebudayaan. Kalaupun mau mencalonkan, ya seniman harus tetap hati-hati. Nanti kesenian jadi kenderaan politik semata. Atau lebih gawat lagi, dana kesenian disulap jadi dana kampanye. Politikus kita kan butuh duit banyak untuk menopang gaya hidup dan kelangsungan karirnya. Kalau ada seniman sejati yang jadi anggota DPRD, maka dia harusnya tetap saja merasa seniman dan menjadikan DPRD sebagai alat memperjuangkan pembangunan kebudayaan.“, ujar Nobibo serius.
“Calon yang lain ada dari pengusaha. Bagaimana dengan itu?, Navatu ingin tahu.
‘‘Bagus itu, tapi harus hati-hati juga. Seniman harus tetap kontrol. Nanti kesenian jadi komoditi untuk minta sumbangan dari kantor ke kantor,”
“Kalau istri pejabat?” tanya Navatu
“Hati-hati lagi. Dewan Kesenian bisa jadi mirip PKK”.
“Komiu (anda) bilangnya hati-hati terus. Memang dewan kesenian itu sebaiknya seperti apa?” “Kalau Dewan Kesenian Palu hanya bertugas untuk memberi bantuan pada sanggar-sanggar dan hanya mengurus pagelaran atau pameran, maka figur ketua Dewan Kesenian bisa siapa saja. Ketua Karang Taruna juga bisa mencalonkan diri jadi Ketua Dewan Kesenian. Apa susahnya membuat program, mencairkan dana, memberikan bantuan pada sanggar dan membuat laporan pertanggungjawaban”
“Lho,… bukankah itu tugas utama Dewan Kesenian?” Navatu masih keras.
“Oh, tunggu dulu. Tugasnya bukan sekedar menangani kesenian secara fisik sebagai persoalan tari menari dan nyanyi menyanyi semata. Yang lebih utama, dia memberi masukan pada Pemda Kota terhadap pembangunan kota yang berdimensi dengan kebudayaannya sendiri. Minimal supaya kasus seperti “Tugu Dji Sam Soe ” tidak terulang kembali,” Tobibo menimpali.
“Jadi sebaiknya bagaimana?” desak Navatu.
“Selain pengurus harian yang menangani roda organisasi dan kesenian secara fisik, Dewan Kesenian sebaiknya juga disertai dengan Anggota Kehormatan yang berisi seniman, budayawan senior, wartawan senior, tokoh masyarakat dan yang paling penting akademisi. Jadi semacam Akademi Palu. Cukup terdiri dari 5 orang. Dengan demikian, program-program Dewan Kesenian mengarah pada strategi pembangunan manusia Indonesia dan pembangunan yang berdimensi kebudayaan. Anggota Kehormatan akan memberi usulan kepada dewan kota untuk misalnya menganggarkan bea siswa kebudayaan buat anak-anak kita setiap tahun satu orang untuk belajar di bidang humaniora pada perguruan-perguruan tinggi. Juga dibutuhkan lembaga Kaililogi yang menjadi pusat penelitian dan kajian budaya Kaili. Dibutuhkan dana penelitian sejarah kota Palu sebagai landasan kita untuk memahami kota yang kita tinggali ini dan budaya yang menyertainya. Supaya kota ini punya identitas dan kita mengembalikan nama-nama jalan, kampung, wilayah ke nama aslinya. Dibutuhkan kajian interdisipliner untuk membangun kota ini sehingga Bappeda kota juga sebaiknya berisi antropog, sosiolog, budayawan. Dengan demikian, perencanaan pembangunan tidak hanya ditentukan oleh insinyur atau ekonom yang hanya pandai dengan angka-angka material.” Tobibo bicara seperti seorang cerdik cendikia.
“Nadea (banyak) dana yang dibutuhkan berarti”, tandas Navatu.
“Jelas!”, nabibo semakin birahi. “Untuk membangun karakter bangsa dibutuhkan dana yang bukan “ala kadarnya”. Tahun 2000, kita pernah menghabiskan dana 1 milyar lebih untuk pembuatan tari kolosal dalam rangka pembukaan MTQ tingkat Nasional di Palu yang melibatkan 1000 pelajar sebagai artis. Orang-orang pragmatis akan menganggapnya terlalu mahal. Tapi mereka tidak pernah berpikir bahwa ada 1000 anak-anak kita yang mengalami pengalaman estetika dan berproses dalam kesenian. Jauh lebih murah dibanding social cost yang harus kita tanggung kalau ada 1000 anak-anak kita yang terjangkit budaya hedonisme, generasi instant yang serba terburu-buru dan tidak menghargai proses, generasi somewhere in between yang belum tuntas menyerap nilai-nilai budaya tradisinya dan gagap menyaring pengaruh negatif budaya luar. Generasi yang berkutat pada syariah namun tidak pernah sampai pada hakikat. Persoalannya, kita lebih senang menghambur-hamburkan uang untuk mengaspal kembali jalan yang belum tentu rusak”. Tobibo terus nabibo.
Navatu mulai terdiam. Julukannya sebagai “kurdin” (kuru-kuru na di) kali ini kehilangan keseimbangan. Dia mulai berpikir, betapa persoalan kesenian tidak sesederhana yang dia kira. Betapa tidak imbangnya anggaran pembangunan fisik dan jiwa bangsa dalam negeri yang dia cintai ini. Dia ngeri membayangkan sebuah generasi yang kehilangan cita rasa keindahannya, kehilangan jati diri, kehilangan kreativitas dan daya saing dan mengedepankan kekerasan. Dia mulai membanding-bandingkan jumlah dana yang dikorupsi oleh para elite politik negeri ini dengan dana pembangunan humaniora. Tobibo pun mulai lelah bicara. Keduanya lama terdiam hingga Navatu berkata lirih.
“Semoga ketua Dewan Kesenian Palu mendatang adalah pejuang kebudayaan sejati”, Navatu mulai kendur.
Tobibo menghela nafas panjang dan bersiap untuk tidur kembali.


Penulis adalah pegawai Taman Budaya Sulteng.
Mahasiswa University of Hawaii
Asian Studies – Arts and Culture Policy.

Tidak ada komentar: