Minggu, 25 Mei 2008

"Tugu Dji Sam Soe" di Kota Palu

(dari penulis: Di penghujung tahun 2004 lalu, sebuah kejadian menarik terjadi di kota Palu: berdiri sebuah tugu yang terletak di tengah-tengah kota dengan sponsor rokok Dji Sam Soe. Iklan rokok itu begitu menyolok hingga saya menamakan tugu itu "Tugu Dji Sam Soe". Berikut tulisan saya yang juga pernah dimuat surat kabar di harian Radar Sulteng- Amin Abdullah)

Tulisan ini adalah respon saya sebagai warga kota Palu atas ajakan Bapak Walikota yang meminta masukan berkenaan dengan telah selesainya dibangun“ Tugu Dji Sam Soe” di salah satu pusat kota Palu, tepatnya di jalan Hasanuddin. Saya menyebut monumen tersebut dengan sebutan “Tugu Dji Sam Soe” karna hanya itulah yang terlintas dalam pikiran ketika pertama kali melihat monumen tersebut. Tambahan, tidak ada tawaran nama dari pihak pemerintah kota terhadap tugu tersebut. Menyebut tugu tersebut dengan “Tugu Hasanuddin” hanya karna berada di jalan Hasanuddin sangatlah tidak beralasan dan berkesan “asal ada nama”.

Bapak Wali Kota, tentu saja kita semua sudah tahu bahwa monumen atau tugu dalam sebuah kota mempunyai fungsi yang banyak antara lain sebagai simbol identitas budaya setempat, memperingati hari-hari bersejarah, penghargaan pada pahlawan yang semuanya dapat terangkum dalam nation and character building karna terkandung nilai, makna, pesan di dalamnya. Sebagai contoh, Patung Raksasa Wisnu Kencana di Bali adalah proyek raksasa yang menggunakan idiom ukiran Bali di salah satu titik penting parawisata Bali. Di Yogyakarta terdapat Monjali (Monumen Yogya Kembali) yang berfungsi mengenang penyerangan Umum 1 Maret. Di Biromaru, ada sebuah patung sederhana namun sangat bermakna ketika yang terpampang adalah sosok seorang “tadulako” yang gigih berjuang mempertahankan kemerdekaannya. Tugu Monas (Monumen Nasional) di Jakarta yang dibangun bersamaan dengan beberapa bangunan monumental sebagai bagian strategi Bung Karno dalam rangka nation and character building.

Apa yang saya sebut dengan “Tugu Dji Sam Soe” sayangnya tidak masuk dalam beberapa kriteria tersebut diatas. “Tugu Dji Sam Soe” terkesan seolah-olah hanya sebagai tempat untuk memutar kenderaan yang berbalik arah dengan hiasan ala kadarnya. Saya gagal untuk mencoba menangkap nilai, makna, pesan yang disampaikan bangunan tersebut. Yang saya tangkap, pemerintah kota tidak mempunyai visi ke depan dalam pembangunan sebuah kota yang berciri khas dengan kebudayaannya sendiri. Pernyataan Bapak di harian ini bahwa bangunan tersebut masih bisa dirubah, menunjukkan bahwa perencanaan pembuatan tugu tersebut tidak matang dan betapa mudahnya kita bongkar-pasang dan tambal sulam untuk pembangunan kebudayaan bangsa ini.
Saya memuji kebijakan pemerintah kota dalam usaha mengajak pihak swasta untuk terlibat dalam pembangunan kota. Namun terlalu riskan untuk “menjual” sebuah monumen atau tugu yang berakses langsung pada identitas bangsa pada salah satu pihak sponsor. Banyak efek negatif yang bakal ditimbulkan. Sebagai contoh akan timbul humor seperti berikut: “Palu Kota Dji Sam Soe” atau “Palu kota 234”. Dilain pihak orang mulai menghitung-hitung, berapa dana pembuatan sebuah tugu di tengah kota sehigga pemerintah kota rela “menjual”nya dengan pihak ke tiga. Apakah dana pembangunan kota tidak mampu untuk membiayai tugu sebagai identitas kota dan kebanggaan warga ?

Saya telah banyak berkeliling-keliling di beberapa kota besar di Indonesia dan luar negeri namun belum pernah menemukan “kerjasama” seperti “Monumen Dji Sam Soe” seperti ini. Koreksi kalau saya salah, sepanjang yang saya tahu yang ada biasanya berbentuk hadiah atau hibah dari sebuah negara, lembaga, perorangan kepada pihak lain. Monumen tersebut juga tidak eksplisit “mendagangkan” nama sang pemberi. Dia cukup diberi keterangan seperti prasasti. Sebagai contoh Patung Liberty, karya salah seorang seniman Perancis, di Amerika adalah hadiah dari bangsa Perancis kepada bangsa Amerika. Atau patung gajah di depan Museum Nasional adalah hadiah dari Raja Thailand terhadap bangsa Indonesia.

Dari kacamata ilmu kesenian, patung, monumen atau tugu termasuk dalam kriteria karya seni murni dan bukan seni terapan disain komunikasi visual atau periklanan. Sehingga dia adalah karya seni utuh hasil dari seorang seniman perupa. Bila ada “pesan sponsor” dari sang pemberi order maka itu sah-sah saja. Lihatlah betapa artistiknya Tugu Pancoran sebagai karya pematung yang begitu tepat menerjemahkan keinginan sang pemesan akan sebuah tugu yang membangkitkan semangat mencapai cita-cita di langit buat siapa saja yang melihatnya. Tugu Selamat Datang di Bundaran HI cukup nyata sebagai simbol kerahtamahan bangsa namun masih mengguratkan cita rasa artistik yang tinggi.

Saya menyarankan, sebagai sebuah karya seni individu namun untuk kepentingan orang banyak, sebuah tugu di tengah kota selayaknya di sayembarakan terlebih dulu disainnya kepada umum. Bila perlu, dari beberapa disain yang masuk dipublikasikan melalui Koran atau TV kepada warga dan diminta partisipasinya untuk memilih yang terbaik Ada dua keuntungan yang menyertai sebuah sayembara. Pertama, publik telah mulai dilibatkan sejak perencanaannya sehingga merasa memiliki tugu tersebut Kedua, dari sekian disain yang masuk, akan terdapat banyak pilihan untuk menentukan yang terbaik.

Bila ada sayembara seperti ini, maka akan memancing kreatifitas perupa-perupa kita untuk menciptakan disain yang futuristik namun mengambil inspirasi dari khasanah tradisi kita. Di daerah kita, saya mencatat beberapa perupa handal seperti Tanwir Pettalolo, Endeng Mursalim, Zulkifly Pagessa, Fathuddin Mujahid dan lain-lain. Dengan memberi hadiah yang layak dan membeli hak cipta, saya yakin akan muncul ide-ide disain yang cemerlang yang mampu kita banggakan untuk memperindah wajah kota hingga berpuluh-puluh tahun ke depan. Efek yang lain, kita memberdayakan seniman lokal kita untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

Pemerintah kota tidak perlu sibuk untuk mengurus sayembara tersebut. Saya ingin mengingatkan Bapak bahwa di kota ada Dewan Kesenian Palu (DKP)yang salah satu tugasnya memberi masukan kepada pemerintahan kota dalam hal pembangunan seni budaya. DKP yang berisi para seniman dan budayawan kota, tentu paham dan dengan senang hati menentukan kriteria dan tehnis pelaksanaan sayembara.

Daerah kita penuh dengan idiom-idiom tradisi yang bisa dijadikan sumber inspirasi. Sebut saja dengan Tai Ganja, disain yang sering kita lihat di kalung-kalung orang tua kita yang merupakan simbol kesuburan wanita. Simbol ini sangat khas buat orang Kaili dan bagian dari simbol “lingga-yoni” yang umum untuk kebudayaan Asia Tenggara. (Bila diperhatikan, Tugu Monas sesungguhnya juga merupakan simbol kejantanan pria karna Bung Karno, sang pemilik ide, sangat dipengaruhi kultur Jawa-Bali.) Ini hanya salah satu ide. Saya yakin, perupa kita lebih paham dalam hal ini.
Tabe…,semoga masukan ini dianggap sebagai masukan yang konstruktif. Sebagai warga kota saya ingin mengingatkan bahwa pembangunan tugu untuk sebuah kota sesungguhnya serius karna menuju pada nation and character building. Bidang yang selama ini kita sepelekan sehingga mengakibatkan krisis identitas dan carut-marutnya budaya kontemporer Indonesia. Salandoa.

Penulis adalah Pegawai Taman Budaya Sulawesi Tengah
Mahasiswa University of Hawaii, AS
Asian Studies - Arts and Culture Policy

Tidak ada komentar: